Translate

Selasa, 04 Agustus 2015




Judul : Friend?
Genre(s) : Friendship, murder [sedikit], family [sedikit],drama.
Author : Khansa Audrey a.k.a Yuu-chan
Cast : [Devi Kinal Putri & Jessica Veranda], Jessica Vania, Shania Junianatha, dll
Warning! : Typo(s), ejaan sesuka Yuu, alur kecepetan, jauh dari kata sempurna.
DILARANG!!
Mengcopas cerita ini tanpa nama author dan izin dari Yuu.
.
.
.
.
.
.


Chapter 4 : Aku Membencimu

“Kinal tunggu! Apa kau tidak pernah diajari sopan santun oleh orangtuamu?” tanya Veranda dengan keras. Kinal yang sudah hampir mencapai pintu kini berhenti lagi.
Gadis itu berbalik lalu kembali mendekati Veranda yang tengah menyesap cappuchinonya tanpa rasa bersalah.
Kinal memandang Veranda tajam. “Orangtua? Heh, spesies jenis apa itu? Aku tidak pernah mengenal orangtua kandungku sejak kecil.”
“Jadi kau punya ibu dan ayah tiri ya?” tanya Veranda lagi. Lagi-lagi dengan wajah tak berdosa.
“Bodoh. Sejak kecil aku tinggal di panti dan sekarang di kos-kosan dan—tunggu. Kenapa aku harus memberi tahumu? Sudah, lebih baik kita akhiri saja pertemuan tidak penting ini!” jawab Kinal sambil melengos pergi.
***
“Hhh!” Kinal mendengus keras. “Mengapa aku memberitahukan tentang diriku pada bocah itu sih?” tanyanya pada dirinya sendiri.
Kinal yang tengah berbaring di tempat tidurnya itu kini memejamkan matanya. Ia berusaha tidur agar melupakan kejadian tadi.
Zrrrt … zrrrrt … zrrrt ….
Baru beberapa detik matanya terpejam, Kinal merasakan getaran di saku kemejanya. Dengan rasa kesal yang tertahan, Kinal merogoh sakunya lalu melihat layar ponselnya.
1 pesan masuk dari Shania Junianatha.
Kinal membacanya dan setelah itu dahinya berkerut. Tapi tidak lama. Ia segera mengetik pesan balasan untuk partnernya itu.
Zrrt … zrrrt ….
Ponselnya bergetar lagi. Di layar ponsel Kinal bisa melihat pesan balasan dari Shania. Dahinya berkerut lagi.
Zrrrt ….
Satu lagi pesan masuk dari Shania. Sesaat setelah menerima pesan, Kinal bangkit dengan wajah serius lalu memacu Honda Jazz-nya.
Ting! Tong! Ting! Tong! Ting! Tong!
Kinal memencet bel dengan tidak sabar. 
“Iya, sebentar!”
Kinal mendengar sahutan dari dalam rumah megah itu. Tidak sampai 30 detik, pintu besar berukiran indah di depannya terbuka. Muncul seorang wanita setengah baya dengan pakaian ala maid dengan baki dan serbet di tangannya.
Kinal memandang wanita itu sebentar, lalu menerobos masuk dengan tidak sopannya.
“Hei! Tunggu! Anda siapa! Anda tidak boleh masuk ke dalam sebelum memberi tahu identitas anda!” seru wanita itu panik.
“Tenang saja Bu Nia. Dia ini temanku,” sahut seseorang tiba-tiba. Suara perempuan.
“Ah, maafkan perilaku saya yang tidak sopan tadi. Saya tidak tahu kalau anda ini teman nona Shania,” kata wanita yang dipanggil Nia itu sambil membungkuk.
“Tidak apa-apa Bu. Sekarang ibu lebih baik ke dapur saja,” kata gadis yang tadi menyahut. Ialah Shania yang sedang tersenyum manis.
Kinal segera berjalan menuju Shania. “Teman? Jangan bercanda. Hubungan kita hanya sebagai partner saja.”
Shania tersenyum menanggapi perkataan Kinal yang ketus dan sinis itu. “Kalau kubilang partner Bu Nia akan curiga bukan? Nah, itu tidak penting. Sekarang ayo kita masuk.”
Kinal hanya diam dan menurut ketika ditarik ke dalam kamar mewah Shania yang bernuansa biru dan kuning itu.
“Apa hal penting tentangku yang ingin kau bicarakan? Kuharap ini benar-benar penting dan bukan lelucon atau semacamnya,” tukas Kinal setelah Shania mengunci pintu kamar.
Shania menyandarkan punggungnya ke pintu lalu melipat tangannya. “Kudengar kau dekat dengan seorang gadis bernama Jessica Veranda akhir-akhir ini. Apa benar?”
“Heh! Hanya itu? Kau bilang ini penting,” ujar Kinal meremehkan. “Lagipula aku tidak dekat dengannya. Dia yang berusaha mendekatiku.”
Shania mengangkat punggungnya lalu berjalan mendekati Kinal dan akhirnya ia duduk disamping Kinal. Shania merangkul Kinal lalu menatap wajahnya lekat. “Tentu saja ini penting, Devi Kinal Putri …,” desisnya dengan seringaian.
Kinal menatap Shania aneh, lalu melepas rangkulan partnernya dengan perlahan. “Sekarang kau mengerikan Shania.”
“Benarkah?” tanya Shania masih dengan seringaian.
“Oke, sekarang berhenti bermain-main. Katakan apa yang ingin kau katakan,” kata Kinal sambil memutar bola mata malas.
“Baiklah-baiklah. Padahal aku ingin menggodamu lagi tahu,” gumam Shania kecewa.
“Kubilang berhenti bermain-main!” tukas Kinal dengan nada tinggi.
“Whoa …, kau marah ya? Mengerikan …,” goda Shania lagi.
“Berhenti bermain-main atau aku akan pulang!” ancam Kinal serius.
“Baik-baik! Aku hanya ingin bilang kalau Jessica Veranda adalah orang dibalik kecelakaan ayah dan ibumu,” kata Shania sambil menggoyang-goyangkan kakinya santai.
Mata Kinal membelalak. Seketika ia menolehkan kepalanya menatap Shania tajam. “Jangan bercanda Shania!”
Shania menggerakkan kepalanya membalas tatapan Kinal dengan tatapan tajam serta seringai. “Aku tidak bercanda. Itu saja yang ingin kukatakan. Sekarang kau bisa pulang. Kau tidak suka kan berlama-lama disini?” tanya Shania lalu bangkit menuju pintu.
***
Malam ini di kawasan Sudirman kalian bisa melihat seorang gadis dengan jaket hoodie hitam bernama Devi Kinal Putri.
Kinal terus berjalan menyusuri trotoar yang cukup sepi di samping jalanan yang penuh sesak. Tentu saja, jam ini adalah jam-jam pulang kantor. Matanya terus bergerak dengan liar sementara senyum yang menyerupai seringaian tetap terukir di wajahnya.
Kinal melihat seorang wanita kantoran yang sedang melihat ponselnya di pinggir jalan. Mungkin ia sedang menunggu angkutan umum atau taksi?
Dengan cepat Kinal menyelinap di antara orang-orang lalu menarik lengan baju wanita itu kasar. Ia menarik wanita itu sampai ke gang senggol yang gelap dan sepi. Untuk apa?
Wanita itu terus meronta-ronta. Mulutnya dibekap Kinal sehingga tidak bisa berteriak.
Akhirnya mereka sampai di gang tujuan. Kinal masuk ke gang lalu menghempaskan wanita itu ke tembok di belakangnya dengan kasar. Ya, gang itu adalah jalan buntu.
“K-kamu mau apa? Mau uang? A-akan kuberikan, tapi jangan sakiti aku!” jerit wanita itu.
 Dibalik masker hitamnya, Kinal menyeringai lebar. “Tenang, aku hanya akan bermain-main denganmu …,” desisnya sambil berjalan perlahan mendekati wanita itu.
“T-tidak! TIdak! Jangan mendekat! Kumohon! Berapa uang yang kau mau? 1 juta? 100 juta?” tanya wanita itu panik.
“Whoaa …, kau punya banyak uang …,” desis Kinal lagi. “Sayang sekali, kau akan menjadi teman bermainku. Sudah kuputuskan.”
Kinal mengeluarkan sebilah belati dari saku jaketnya. “Selamat tidur ….”
JLEB!
Kinal menhujamkan belatinya ke bahu sebelah kanan wanita itu. Tentu saja, wanita itu masih hidup. Kini ia merintih-rintih memohon pada Kinal.
Kinal mengangkat tangan wanita itu. Ia melihat kuku wanita itu. “Indah sekali kukumu …, apa kau mauberikan aku satu?”
“J-j-angan bodoh! Bagaimana bisa!” jerit wanita itu lagi.
Kinal memotong jari wanita itu layaknya memotong wortel. Tentu saja wanita itu menjerit.
Selesai memotong jari, Kinal mengatakan sesuatu. “Sebenarnya aku suka teriakanmu itu, tapi kau terlalu berisik,” katanya.
Kinal mengambil ancang-ancang untuk menhujamkan belatinya lagi. Kali ini sasarannya adalah leher. “Yang kutahu pita suara itu ada disini, tapi aku tidak tahu dimana persisnya,” gumam Kinal.
JLEB! JLEB! JLEB! JLEB!
Kinal menghujamkan belatinya ke leher wanita itu berkali-kali.
“AAARGH!!!!”
JLEB! JLEB! JLEB!
***
Kriiing!!
Kinal meraih ponselnya lalu mematikan alarm. Ia menguap panjang lalu bangkit dan menjalankan aktivitas sehari-harinya.
“Halo Kinaal!!”
Suara itu menginterupsi acara membaca Devi Kinal Putri. Gadis itu menghela napas tanpa menolehkan kepala karena tahu ketenangan disekelilingnya akan sirna.
Gadis itu berjalan riang setelah menyapa orang yang dianggapnya teman itu. Setelah sampai ke bangku paling pojok di paling belankang, Jessica Veranda meletakkan tasnya dengan riang.
“Pagi Nal, sedang apa?” sapa Veranda sekali lagi.
“Kukira matamu masih normal. Kau bisa melihat apa yang sedang kulakukan,” jawab Kinal tanpa ekspresi.
“Hmmm …, kalau begitu, tadi pagi kau sarapan apa?” tanya Veranda lagi.  Ia berbasa-basi seperti ini agar mempertipis jarak di antara dirinya dengan Kinal. Ia benar-benar ingin berteman dengan Kinal.
“Berhenti bertanya hal yang tidak penting seperti itu, dan jauhi aku,” tegas Kinal. Gadis itu bangkit lalu menatap tajam Veranda. “Aku membencimu.
TBC~

A/N :
Yoo!!
Selamat sore semua! ^o^)/ Yuu datang lagi! Nggak bosen kan? Enggak dong, kan author kece! Oke, gak penting. FYI, One Piece tayang loh di TV Indo! Di channel space toon 2 ditonton yuuk~ :D
Oke, jadi gimana? Makin kece? Atau makin hancur? :'v Langsung aja, sebutin keluhan(?) kalian tentang fic ini di komentar! Kalau emang enggak ada yang ngeganjel pikiran readers, tinggalin jejak ya! Biar Yuu tau siapa aja manusia kece yang masih mau meluangkan waktu buat baca fic ini! Thankyou so much! Arigato gozaimasu minna-san! <3 Do'a-in supaya nggak stuck ya!
Ya ampun, hari ini Yuu makan apa ya? Author note-nya panjang banget, yaudah deh,
Jaa, ne! :D <3

Sabtu, 01 Agustus 2015

JKT48 Fanfiction : Friend? - Chapter 3 : Secuil Fakta




Judul : Friend?
Genre(s) : Friendship, murder [sedikit], family [sedikit],drama.
Author : Khansa Audrey a.k.a Yuu-chan
Cast : [Devi Kinal Putri & Jessica Veranda], Jessica Vania, Shania Junianatha, dll
Warning! : Typo(s), ejaan sesuka Yuu, alur kecepetan, jauh dari kata sempurna.
DILARANG!!
Mengcopas cerita ini tanpa nama author dan izin dari Yuu.
.
.
.
.
.
.


Chapter 3 : Secuil Fakta

Kinal bangkit dari kursinya, berencana meninggalkan gadis yang menurutnya menyebalkan itu.
“Heei, tunggu!” dengan cepat Veranda meraih pergelangan tangan Kinal dan menahannya.
“Ck, mau apa lagi kau?” tanya Kinal—sedikit membentak.
“Aku bahkan belum tahu nama lengkapmu, Kinal,” kata Veranda. Gadis itu memberi kode.
“Lantas?” Kinal mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi kurang mengenakan. Kode yang diberikan Veranda gagal sudah.
“Oh, ayolah! Masa tidak mengerti? Beri tahu aku nama lengkapmu!” seru Veranda, sedikir frustrasi pada gadis di depannya ini.
Kinal memutar bola matanya malas, lalu menghentak tangannya hingga tangan Veranda yang bertaut dengan miliknya terlepas. “Bocah sepertimu tidak perlu tahu!”
“Ayolah …, kita kan teman ya? Kau kan orang yang baik …,” mohon Veranda dengan puppy eye andalannya.
Pikiran Kinal menolak untuk merespon, apalagi menjawab. Tapi toh tangannya kini bergerak pelan mengambil buku paket yang segera disodorkan pada Veranda. Padahal selama ini ia tak pernah memperlihatkannya pada siapa saja—kecuali guru tentunya.
Veranda cepat-cepat mencondongkan kepalanya kedepan, membaca 3 buah kata yang tertera di halaman buku paket itu. “Devi Kinal Putri …. Nama yang bagus! Boleh aku panggil kamu Devi?”
“Jangan seenaknya mengganti nama panggilan seseorang. Sudahlah, aku mau pergi,” Kinal kembali membalikan badannya, berniat untuk pergi.
“Hei, tunggu dulu Kinal!” lagi-lagi Veranda menahan tangan Kinal agar gadis itu tidak pergi meninggalkan dirinya. “Ceritakan, apa masalahmu?”
“Kenapa kau sebegitu mau tahunya tentangku? Aku tidak bermasalah tahu! Aku hanya orang yang buruk, jadi sebaiknya kau jangan dekat-dekat padaku!” bentak Kinal tertahan. Ia tahu di situasi seperti ini ia tak boleh melakukan hal semacam itu yang bisa menarik perhatian orang banyak.
“Karena kau itu menarik. Kau terlihat begitu misterius dan keren. Aku menyukaimu!” jawab Veranda riang.
“Aku masih normal bodoh,” tukas Kinal dengan wajah datar.
“Bukan itu maksudku! Aku juga masih normal tahu! Lagipula kan aku bilang menyukai, bukannya mencintai!” balas Veranda. Tak terima dibilang tidak normal—walaupun secara tidak langsung—gadis itu mulai menampakkan wajah kesalnya.
“Terserah! Jangan ganggu aku lagi, Jessica Veranda!”
***
Jessica Veranda menghempaskan diri pada sofa di ruang tengah rumahnya. Veranda menghela napas pelan lalu mengambil mug berisi coklat panas lalu mengaduknya sekilas.
Setelah menyesap minuman penghangat badan favoritnya, tangan Veranda terulur demi mengambil remot televisi lalu menyalakannya.
Rumah yang tadinya hanya terdengar bunyi jam dinding itu kini menjadi cukup ramai akibat suara dari pembawa berita.
“Pemirsa, telah meninggal pada tanggal 12 Mei yang lalu, putri semata wayang dari bapak Winarto, Stella Cornelia Winarto. Diduga penyebab kematian Stella adalah pembunuhan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sampai saat ini, polisi belum juga dapat mengungkap siapa pelaku pembunuhan dari Stella. Semoga anggota keluarga dan orang-orang terdekat yang ditinggalkan bisa menerima kepergian beliau dengan lapang dada. Berikut ini adalah wawancara kami pada bapak Winarto selaku orangtua Stella Cornelia dan CEO dari Winarto Company.”
Veranda tidak bergeming. Ia berusaha mencerna semua kata-kata sang pembawa berita tadi. Intinya adalah satu; Stella Cornelia, sahabatnya yang sangat disayanginya, pergi meninggalkannya. Untuk selama-lamanya.
Veranda merasa sangat terpukul. Matanya menatap kosong dengan pelupuk mata yang mulai tergenang air. “Stella …, meninggal?”
Veranda meneguk ludah, dirinya tak bisa menerima kenyataan bahwa sohib karibnya itu telah pergi untuk selama-lamanya.
Ting!
Suara itu membuat Veranda tersadar. Mengetahui bahwa suara itu berasal dari ponselnya, gadis itu meraih benda yang sangat penting bagi kebanyakan orang itu.
“Ve, kamu dateng ke rumah ya …. Jenazah Stella mau dikuburkan 2 jam lagi. Kamu tahu kan, Stella sudah meninggal Ve …,” Veranda membaca BBM dari mama Stella. Matanya lagi-lagi menerawang kosong lurus ke depan.
“Stella sudah meninggal,” gumamnya. “Dia meninggalkanku. Dia benar-benar sudah pergi ….”
Setelah bergumam, Veranda melangkahkan kaki ke kamarnya, berganti baju, lalu tancap gas ke arah rumah Stella.
***
Keesokan harinya, Kinal tidak begitu banyak mendapat gangguan dari Jessica Veranda. Aneh juga, tapi Kinal memutuskan untuk tidak ambil pusing dalam hal itu. Kini,  gadis yang tengah duduk di bangku kelas 12 itu sedang bersiap untuk pulang.
Kelasnya sudah sepi, karena anak-anak sudah pulang beberapa menit yang lalu. Kinal mendapat tugas piket hari ini dan sialnya, hanya ia satu-satunya anggota piket hari ini yang masuk. Jadi, seperti yang kalian perkirakan, Kinal mengerjakan piket kelas sendirian.
Kriet ….
Tiba-tiba pintu kelas terbuka. Di ambangnya terlihat gadis bersurai hitam panjang dengan mata sembab khas orang habis menangis.
“Kau belum pulang, bocah?” tanya Kinal tanpa memandang Veranda. Kinal tahu itu dia, karena tas biru milik Veranda masih tertaruh rapi di atas bangkunya.
“Seperti yang kau lihat, Nal,” jawab Veranda acuh, tak biasanya ia bersikap acuh seperti itu terhadap Kinal, seorang yang dianggap Veranda teman. “Apa kau masih piket?”
“Tidak. Aku akan pulang sekarang,” jawab Kinal, ia menyampirkan tas ranselnya pada satu bahunya. “Apa kau ada urusan denganku?” tanya Kinal, sambil menatap Veranda.
“Heh, kau menangis? Benar-benar seperti bocah,” lanjutnya lagi, dengan nada mengejek yang kentara sekali. Kinal memalingkan wajah, tak tertarik menatap mata sembab Veranda.
“Ya. Aku ada urusan denganmu, Nal. Temani aku ke café. Sekarang.” Veranda menarik tangan Kinal selepas berbicara dengan nada datar yang terdengar aneh bila keluar dari mulut seorang Jessica Veranda.
“Hei, hei! Apa-apaan ini?! Kau menculikku ya?!” tanya Kinal sambil meronta-ronta. Tapi siapa sangka, tenaga Veranda lebih kuat dari yang dibayangkannya.
Kini, mereka sudah sampai di café dekat SMAN 48 Jakarta.
“Mbak, pesan cappuchino 2,” pesan Veranda pada pelayan yang siambut dengan anggukan si pelayan perempuan.
“Jangan seenaknya memutuskan aku mau pesan apa,” tukas Kinal. Agak ketus terdengarnya.
“Sobat karibku meninggal,” kata Veranda, tak mempedulikan perkataan Kinal.
“And so? Apa hubungannya denganku?” tanya Kinal, menaikkan sebelah alisnya.
“Kau temanku. Tentu ada hubungannya!” seru Veranda, agak kesal dengan sikap Kinal yang sebegitu cueknya.
“Jadi …, temanmu itu siapa?” tanya Kinal sambil menopang dagunya.
“Stella. Stella Cornelia Winarto,” jawab Veranda dengan wajah muram.
“S-Stella Cornelia?” tanya Kinal tak percaya. Ia membelalakkan matanya dan menatap lekat Veranda. ‘Ini akan menjadi sulit. Mengapa targetku itu merupakan sahabat si Bocah ini?’ batin Kinal, agak panik.
“K-kamu kenal Stella?” tanya Veranda penuh perhatian.
“E-enggak kok. Kalau begitu aku turut berduka ya,” elak Kinal. Gadis itu memalingkan wajahnya, menghindari kontak mata dengan Veranda yang menatapnya tak yakin.
“Kamu tidak berbohong kan, Nal?” Ve menaikan sebelah alisnya sambil memandang Kinal lekat-lekat.
“T-tentu saja! Lagipula untuk apa aku berbohong?” tanya Kinal dengan nada tinggi. Wajahnya dan cara bicaranya masih terlihat dan terdengar tidak meyakinkan bagi Veranda.
“Kau terlihat panik begitu Nal. Kau pikir kamu bisa membohongiku, ya?” tanya Veranda dengan nada menantang. Senyum miring disunggingkannya khusus untuk Kinal.
Kinal hendak berkelit lagi, namun pelayan café datang dengan nampan berisi dua cangkir cappuchino hangat yang terlihat enak.
“Silahkan ….” Pelayan itu menunduk sedikit lalu pergi bersamaan dengan Veranda yang mengatakan terima kasih.
Veranda menyesap cappuchino-nya perlahan, lalu mulai bicara lagi. “Ceritakan padaku, Nal. Aku tahu kau sedang menyembunyikan sesuatu. Jelaskan semuanya, ya? Kita kan teman.”
Gadis itu menatap Kinal dengan tatapan teduh yang seharusnya menyejukkan hati. Tapi nyatanya Kinal kini malah semakin bimbang. Apa ia harus menyerah saja? Atau tetap mempertahankan kemisteriusan identitasnya itu?
“Hei, kenapa kamu diam saja Nal?” tanya Veranda. Sepertinya ia telah lupa sesaat tentang kematian sang sohib karibnya. Dan itu memang kenyataannya. Veranda kini lebih tertarik mengorek informasi dari sosok gadis misterius yang menarik di depannya ini.
“Hhhh …,” Kinal menghela napas frustrasi. Kini dirinya merasa tidak bisa—atau mungkin tidak mau—berkelit lagi. “Kau bukan tipe perempuan penggosip atau tidak bisa menjaga rahasia kan, Jessica?” tanya Kinal.
“Hei, jangan panggil aku seperti itu. Jessica rasanya terlalu mainstream, bahkan adikku menggunakan nama itu dan oh, itu tidak penting. Dan soal pertanyaan mu jawabannya ya. Bahkan aku tidak punya teman untuk bergosip,” jawab Veranda. Ia memandang Kinal penuh perhatian.
“Ya-ya. Terserah. Baguslah kalau begitu,” Kinal menarik napas lalu menghelanya perlahan. “Kau tahu Jakarta 48?” Kinal memelankan suaranya, takut ada yang mencuri dengar.
“Apa itu? Apakah itu semacam toko aksesoris? Atau mungkin …, bandar narkoba!” tebak Veranda dengan nada sedikit tinggi.
“Pelankan suaramu bodoh! Lagipula itu bukan bandar narkoba apalagi toko aksesoris!” desis Kinal.
“Lalu apa? Apa semacam band café? Tapi gadis misterius sepertimu tak mungkin ikut band café,” gumam Veranda sambil berpikir keras.
“Ternyata kau benar-benar anak baik-baik. Jakarta 48 itu organisasi. Yang berisi para pembunuh bayaran,” kata Kinal, sangat pelan, hampir berbisik. Untungnya gadis itu mencondongkan kepalanya sehingga Veranda dapat mendengar bisikannya itu.
“Lalu?” wajah Veranda tampak sangat polos sewaktu mencetuskan pertanyaan itu.
“Jakarta 48 memiliki anggota bernama Devi Kinal Putri, yang beberapa hari yang lalu mendapatkan misi untuk menghabisi Stella Cornelia bersama rekannya,” tandas Kinal, ia bangkit, lalu meninggalkan café itu dengan sejumlah uang.
Tetapi tiba-tiba Kinal terhenti. “Dan selamat, kau mengetahui sepersen dari diriku.”
TBC~

A/N : 
Yo! Apakabar Minna? :3
Yuu dateng lagi! Siapa yang kangen? Huft, blog ini udah lama banget Yuu tinggalin. Maaf ya? Rasanya blog ini udah berdebu, dan banyak sarang laba-labanya. -3-
Sekali lagi Yuu minta maaf yaa? m(__)m
So? Gimana? Ada peningkatan kah fic ini? Atau justru menurun? Tolong bantu Yuu ya, supaya fic ini makin kece lagi, kayak authornya! :3 Caranya gimana? Gampang! Tinggal ketik reg spasi yuu kasih review aja kok! Mohon bantuannya ya :D kalau enggak ada review, minimal jejak. Biar Yuu tau kalau kalian baca cerita ini! BIG THANKS untuk yang udah mau luangin waktunya buat baca!
Oke, Yuu mau makan siang, dulu,
Jaa ne! :* :D

Minggu, 21 Juni 2015

Photopack Handmade JKT48 Theater no Megami Team J



















Yoo!! Konnichiwaa~~

Siang2 pas puasa gini, Yuu post pp handmade buatan Yuu 100% kalo mau copas cantumkan sumber 'kay? ;) free save, but jangan dibuat trade ya! Soalnya itu HANDMADE. Btw kasih nilai yaps! :3

Jaa ne! :3

Sabtu, 20 Juni 2015

JKT48 Fanfiction : Friend? - Chapter 2 : Kau Hanya Tahu Namaku



Judul : Friend?
Genre(s) : Friendship, murder [sedikit], family [sedikit],drama.
Author : Khansa Audrey a.k.a Yuu-chan
Cast : [Devi Kinal Putri & Jessica Veranda], Jessica Vania, Shania Junianatha, dll
Warning! : Typo(s), ejaan sesuka Yuu, alur kecepetan, jauh dari kata sempurna.
DILARANG!!
Mengcopas cerita ini tanpa nama author dan izin dari Yuu.
.
.
.
.
.
.

Chapter 2 : Kau Hanya Tahu Namaku.
Keesokan harinya, di pagi hari yang mendung, Devi Kinal Putri berjalan gontai menuju kelasnya. Rasanya ia benar-benar tidak ingin keluar dari selimut nyamannya. Bukankah suasana seperti ini lebih cocok dipakai untuk tidur daripada ke sekolah?
“Heeei!! Kamu!!” sementara Kinal sibuk mengutuki guru-guru dan sekolahnya dengan segala umpatan yang dipunyainya, Jessica Veranda berlari kearah gadis Bandung itu.
Kinal menoleh, walaupun sebenarnya tak berniat memberi respon. “Kau mau apa?” tanyanya dingin, sedingin suhu udara pagi itu.
“Aku hanya mau tanya. Namamu siapa?” tanya Veranda. Sama sekali tidak merasa lawan bicaranya tak menginginkan keberadaannya untuk sekarang.
“Kenapa kau mau tahu?” tanya Kinal acuh.
“Bodoh! Tentu saja aku mau tahu! Kita ini kan teman sebangku!” jawab Veranda agak kesal. Mungkin karena diperlakukan dengan sangat dingin oleh Kinal.
Yang ditanya mendengus. “Kinal,” tak mau percakapan ini memanjang, Kinal akhirnya menjawab dengan berat hati. ‘Teman? Dia bercanda. Aku tidak punya teman. Sungguh gadis bodoh, mau-maunya berteman denganku,’ batin Kinal lalu pergi.
***
“Hei, Kinal, nama lengkapmu siapa sih?” tanya Veranda setelah Bu Iva mengakhiri pelajaran.
“Kau tidak perlu tahu,” sahut Kinal sambil memasukan dan mengeluarkan buku paket serta tulis dari dalam tas.
“Baiklah. Hmm …, bagaimana kalau nanti aku ke rumahmu?” tawar Veranda lagi. Senyum manis masih menghiasi bibirnya.
“Ide buruk,” jawab Kinal. Masih dengan nada datar.
“Kalau ke café dekat sekolah bagaimana?” tawar Veranda lagi. Rupanya gadis itu masih belum menyerah. Gigih sekali dia.
“Masih tetap ide buruk, Veranda.”
“Kau memanggil namaku! Tapi mungkin lebih baik panggil Ve saja! Kan kita teman!” seru Veranda riang. Gadis itu tersenyum tulus, tapi tidak dengan Kinal.
“Sejak tadi kau terus mengatakan kita teman dan kita teman! Kau tahu, aku terganggu dengan itu karena kita sama sekali bukan teman!” bentak Kinal—namun teredam oleh suara anak riuh anak-anak lain yang menyambut jam kosong.
“Omong kosong! Kita kan teman sebangku, lagipula aku sudah menganggapmu teman, jadi kita teman!” bantah Veranda.
“Kau itu orang baik-baik. Kau selalu dapat juara kelas kan? Kau berbeda denganku, bocah! Aku ini orang yang buruk!” bentak Kinal lagi dan masih teredam oleh keramaian kelas.
“Aku tidak peduli! Aku menganggapmu teman!” tukas Veranda. “Lagipula …, aku tidak sebaik itu.”
“Ck, dasar keras kepala. Terserah kau, tapi aku tidak pernah menganggapmu teman. Lagipula aku tidak pernah punya teman—dan setahuku orang yang berteman denganku akan terbawa masalah karenaku,” kata Kinal pasrah.
“Kau mengatakan omong kosong lagi! Mungkin teman-temanmu itu memang sedang sial, bukan karena berteman denganmu!”
***
Jessica Veranda berguling-guling di atas pembaringannya. Ia terus memikirkan teman sebangkunya yang diketahuinya bernama Kinal.
Gadis itu begitu tertutup dan galak. Tapi instingnya mengatakan kalau Kinal orang  baik-baik. Veranda sendiri benar-benar tertarik dengan tingkah anak itu. Kira-kira apa ya, yang membuat gadis itu begitu tertutup sampai tidak mau punya teman?
Ah, entahlah! Kinal itu, selalu membuat dirinya ingin tahu! Habis, dirinya begitu menarik bagi Veranda. Ingin rasanya bersahabat dengan Kinal.
Aneh, memang. Biasanya seorang Jessica Veranda tidak pernah mengobrol sebanyak itu dengan orang yang baru dikenalnya. Tetapi seorang Devi Kinal Putri dapat ‘memaksa’-nya untuk mengatakan banyak hal. Dasar Kinal!
“Baiklah! Besok akan kutanyakan apa yang membuatnya begitu tertutup!” Veranda bangkit lalu mengepalkan tangan berapi-api.
***
Devi Kinal Putri tengah dalam perjalanan kembali dari kantin dengan perut kenyang. Rencananya gadis itu akan tidur di kelas sampai ‘teman’ sebangkunya yang menyebalkan itu membangunkannya.
Kinal kini telah sampai di bangkunya, meletakkan kepala diatas lipatan tangannya di meja. Gadis itu bersiap untuk tidur.
Baru sekian detik Kinal menutup matanya, ia harus membuka organ penglihatannya kembali akibat punggungnya ditepuk pelan.
“Apa?” Kinal mengangkat wajahnya lalu dengan ekspresi malas menoleh ke arah kiri.
Disana terlihat Veranda yang sedang memperhatikannya dengan saksama. ‘Ada apa dengan orang ini?’ tanya Kinal dalam hati—tentu saja.
“Kau tidur ya?” tanya Veranda hati-hati.
“Hhh!” Kinal mendengus kesal. “Kau punya sepasang mata yang cukup baik untuk melihat, jadi seharusnya kau tahu aku sedang apa.”
“Bolehkah aku bertanya?”
“Apa pertanyaanmu?”
“Kenapa kau tidak mau punya teman? Padahal kan kata orang-orang berteman itu menyenangkan? Apa kau memiliki gangguan jiwa atau pemalu? Pasti kau punya pengalaman buruk! Orangtuamu meninggal ya?” tanya Veranda tanpa rasa bersalah.
“Dasar bocah bodoh! Kau hanya tahu namaku. Bukan aku.”
TBC~

A/N :
Yoo~!!
Puasa-puasa gini enaknya baca fic Yuu! Heheheh :D
Gimana-gimana? Makin baikkah? Atau malah makin buruk? Feel free to comment minna~ kalo Yuu sendiri malah ngerasa chapter ini pendek banget [fakta] dan mungkin chapter ini gak begitu penting. 
As always, big thanks to sekumpulan manusia yang udah mau menyisihkan waktunya buat baca fic ini~
THanks yang udah review, btw, review sangat diperlukan loh.
Semoga ga stuck ya,
Jaa neee~!

Senin, 15 Juni 2015

JKT48 Fanfiction : Friend? - Chapter 1 : Korban ke 1000



Judul : Friend?
Genre(s) : Friendship, murder [sedikit], family [sedikit],drama.
Author : Khansa Audrey a.k.a Yuu-chan
Cast : [Devi Kinal Putri & Jessica Veranda], Jessica Vania, Shania Junianatha, dll
Warning! : Typo(s), ejaan sesuka Yuu, alur kecepetan, jauh dari kata sempurna.
DILARANG!!
Mengcopas cerita ini tanpa nama author dan izin dari Yuu.
.
.
.
.
.
.
.

Chapter 1 : Korban ke 1000

Jalanan kota Jakarta pada sore hari ini terbilang cukup sepi. Mobil-mobil serta kendaraan banyak terlihat terparkir di dalam gedung-gedung bertingkat ataupun di tepi jalan.
Sebuah Honda Jazz melaju dengan kecepatan ekstra di jalanan yang sepi tersebut. Di dalamnya bisa kita lihat Devi Kinal Putri yang sedang mengenakan ear phone.
Tak sampai 10 menit, Kinal sudah sampai di tempat yang menjadi tujuannya. Sebuah mansion megah berdiri menjulang di tengah-tengah pepohonan yang rindang.
“Halo Kinal!”
Sapaan itu terdengar begitu familiar di telinga sang gadis bersurai pendek itu.
“Melody, tidak perlu basa basi. Cepat katakanlah target kita,” kata Kinal dingin. Sedingin tatapan mata elangnya.
Sang penyapa tertawa kecil, “mood mu sedang buruk ya? Maaf kalau begitu. Jadi, targetmu dan Shania adalah seorang putri dari CEO Winarto Company sekaligus saudara jauh dari Sonia,” gadis yang dipanggil Melody itu menjelaskan dengan kelewat santai. Seperti mengobrol biasa saja rasanya.
Namun sayangnya, hal itu lah yang Kinal tidak sukai dari seorang Melody Nurramdhani Laksani. Gadis itu terlalu lembut untuk seorang bos pembunuh bayaran. Ia bahkan lebih cocok berdiam diri dirumah dan mengurusi anak-anak.
“Baiklah. Ayo, Shania,” dengan segera Kinal menarik tangan Shania menuju mobilnya.
“Ya ampun Nal, kau selalu seperti ini. Ada apa sih, apa yang membuat mood mu buruk begini?” tanya Shania ketika ia sudah berada dalam Honda Jazz Kinal.
“Hhh …, aku sekarang memiliki teman sebangku,” Kinal mengeluh tanpa memalingkan wajah. Matanya terfokuskan pada jalanan.
“Wah, bukankah itu bagus ya? Kau kan bisa menjadi tidak ansos!” Shania memandang Kinal dengan wajah bertanya-tanya.
“Kau bodoh seperti biasa, Shania. Aku tidak ingin ada orang di dekatku. Apalagi orang baik-baik. Aku tahu, mereka pasti akan terjerumus kedalam suatu masalah karena aku,” bantah Kinal. Gadis itu menatap Shania dengan tajam.
“Aah …, itu kan hanya sugesti saja Nal,” gumam Shania. Tapi terlambat, Kinal mendengar gumamannya.
“Kau tidak tahu apa-apa Shania Junianatha.”
***
Kini, matahari hampir terbenam di ufuk barat. Kinal memarkir mobilnya di dekat sebuah gang senggol.
Tepat di sebelah kiri gang senggol tersebut, terlihat gerbang mewah menuju perumahan super mewah. Sungguh sebuah ironi.
Tapi, Kinal dan Shania tak akan repot-repot memikirkannya. Kini mereka sedang dalam perjalanan ke rumah target. Kediaman keluarga Winarto.
Kedua gadis itu berhenti tepat di depan sebuah rumah megah yang menjulang begitu tinggi. Rumah itu di dominasi oleh warna ungu dan hitam. Kombinasi warna yang menampilkan kesan elegan.
Lagi-lagi Kinal serta Shania tidak repot-repot memperhatikan warna rumah tersebut.
“Ini kan Nal, rumahnya?” tanya Shania sambil memperhatikan rumah itu.
“Ya. Ayo masuk,” ajak Kinal. Cewek itu tanpa basa-basi membuka gerbang hitam rumah tersebut. Shania hanya mengekor.
“Hey kalian!”
Suara berat seorang laki-laki menghentikan langkah kedua gadis itu. Mereka serempak menoleh dengan ekspresi yang berlainan.
“Iya Pak, ada apa?” tanya Shania, memutar mata malas.
“Kalian ini siapa? Saya satpam di rumah ini. Kalau ada yang mau masuk harus saya data dulu!” jelas seorang pria paruh baya yang mengenakan seragam putih khas penjaga keamanan.
Kinal menyeringai, “jadi Bapak mau mendata kita? Datanglah kemari.”
Sebentar bapak itu memandang Kinal curiga. Tapi toh dia tetap melangkah maju juga lengkap dengan sebuah buku dan bolpoin.
“Nama kalian sia—“
Jleb!
Saat jarak mereka hanya 1 meter, Kinal menerjang maju lalu menikam perut si penjaga keamanan yang malang tersebut.
“Pa …,” bapak itu terjatuh. Bibirnya bergerak-gerak berusaha meneriakan sesuatu. Tapi suaranya tidak terdengar.
“Aduh Kinal, kita tidak boleh membunuhnya disini! Jika ketahuan bagaimana?” bisik Shania dengan keras.
“Terserah,” Kinal mejawab sekenanya. Gadis itu berlutut, lalu mengarahkan pisau dapur yang dilumuri darah miliknya.
Devi Kinal Putri mencungkil sebelah bola mata sang penjaga keamanan. Setelah itu, ia memegangnya dengan sarung tangan yang melapisi tangan mulusnya.
Kinal memperhatikan bola mata itu dengan saksama. “Ku apakan ya? Apa disimpan saja?”
“Apa? Tidak! Kau tidak boleh membawa satu pun barang bukti Kinal! Kita hanya diperintahkan untuk membunuh, bukannya mencuri organ tubuh!” tegur Shania ketika mendengar gumaman Kinal.
Kinal tidak menggubrisnya. Setelah cukup lama menghilang, seringaian muncul kembali di wajah Kinal.
Tiba-tiba Kinal menggenggam bola mata itu dengan erat sehingga bola mata itu hancur lebur, lengkap dengan darah dan segala macam bagian mata yang mengotori sarung tanyannya.
“Nah, jika begini akan terlihat seperti dia memakan matanya. Menarik bukan?” tanya Kinal sambil meletakkan bola mata yang sudah hancur tersebut ke mulut sang penjaga keamanan.
“Kau aneh Nal.”
***
Ting tong!
Kinal menekan bel.
Pintu terbuka dan dengan kecepatan ekstra Kinal menikam seorang gadis berkacamata yang membukakan pintu tepat pada dada kirinya. Tempat jantung gadis itu berada.
“S-s-siapa k-kamu …, b-berani-beraninya kamu me-melakukan ini pad-padaku!” gadis itu ingin berteriak, namun tak mampu.
Kinal dengan cepat mencabut pisau lalu menghujamkan tangannya sehingga tangannya itu menyentuh jantung Stella Cornelia.
“J-ja-jangan laku—“
Terlambat. Kinal telah meremas kasar jantung gadis itu. Darah segar membasahi tangannya yang terbalut sarung tangan itu.
“Hmm …, kita apakan ya mayat ini Shan?” tanya Kinal. Ia tetap saja menyeringai dan itu sama sekali tidak membuat Shania risih.
“Sudahlah, terserah kau saja. Lagi pula Kinal mana bisa dilarang?” jawab Shania. Gadis itu mendengus tanda tidak lkhlas.
“Hmm …,” Kinal meletakkan telunjuknya dibawah bibir. Gadis itu tengah berpikir.
Sesaat kemudian Kinal tesenyum lagi. Atau bisa dibilang menyeringai. Entah kenapa, gadis itu lebih suka meyeringai daripada tersenyum.
Gadis itu meyayat bagian perbatasan dada dan perut Stella dilanjutkan dengan sayatan horizontal di perut bawah serta vertikal di kanan kiri perut Stella.
Kinal memperdalam sayatannya, sehingga lapisan kulit perut Stella terbuka. Terlihat usus serta lambung Stella.
Kinal meyeringai—lagi—ia menarik kasar usus Stella sehingga tertarik keluar, lalu memutusnya dengan seringaian khas psikopat.
Kini Kinal mengambil pisau dapur dengan cepat, lalu menghujamkannya ke bola mata Stella berkali-kali. Sampai hancur tak berbentuk.
Belum. Penyiksaan ini belum berakhir. Dengan kedua tangannya Kinal membuka luka bekas tikaman di dada gadis Winarto itu.
“Sudah cukup, Nal! Kau keterlaluan!” Shania mencegah Kinal melakukan hal yang gila lainnya. Jika dilihat, ternyata dress warna peach miliknya telah ternoda oleh darah, padahal letaknya dari Kinal cukup jauh.
“Ck! Kau selalu menggangguku Shania! Kau menyebalkan!” tukas Kinal sambil mengambil pisau lalu bangkit.
“Jika kau melakukan hal yang lebih dari ini kita akan ketahuan tahu! Sudah sana cepat ganti bajumu!” Shania melemparkan kemeja dan jins hitam yang diambilnya dari tas ransel yang dibawanya pada Kinal. “Gara-gara kamu aku jadi harus ikut ganti baju juga! Huft!” umpat Shania setelah membuka bajunya.
Kinal mengacuhkan rekannya itu, tapi sebentar kemudian ia menoleh dan bertanya dengan seringaian. “Tadi itu korban kita yang keberapa ya?”

Kali ini Shania memutar bola mata malas. Ia tak suka membicarakan hal-hal seperti ini. “Ke 1000.”
TBC~

A/N :
Yo, minna-saaan~~!! :3
Jadi, gimana fic ini? Tambah kece kah? Atau ada penurunan? Iya, Yuu tau kok, fic ini emang masih jauuuuh banget dari kata sempurna, tolong kasih review ya :) kalo nggak mau/nggak bisa tinggalin jejak aja .... Biar Yuu tau siapa aja yang baja fic ini :D
Oh, btw sedih ya, Kinal sama Ve terpisahkan :') mungkin ini udah yang terbaik//azeeekk// 
Seperti biasa, big thanks buat yang udah nyempetin baca sampe kata TBC aja Yuu dah seneng :D semoga ini nggak stuck ya!
Oke, lagi-lagi Yuu kebanyakan ngomong, akhir kata, Yuu tutup dengan,
Jaa nee~!! :D

Kamis, 11 Juni 2015

PNG JKT48 Part 2

Konbanwa minna-sama~ :3

Ketemu lagi sama Yuu, nah, sekarang Yuu mau share png jeketi lagi~
Kalo mau copas sertakan sumber ya, 'coz semua png ini 100000000000% asli buatan Yuu sendiri.
Nah, Yuu kebanyakan ngomong lagi, langsung aja, check this out!

JKT48 School Logo


JKT48 Logo
Yuuhi Senbatsu
Kibouteki Refrain Logo
Manatsu no Sounds Good Logo
Theater no Megami Logo

Kinal River





Okee~ udah dulu yaa~ maaf dikit, dan maaf juga kalau nggak rapi.. Yuu masih nubi qaqaq :v
Jaa ne~! :3 :D

Rabu, 10 Juni 2015

JKT48 Fanfiction : Friend? - Prologue : Siswa Baru


Judul : Friend?
Genre(s) : Friendship, murder [sedikit], family [sedikit],drama.
Author : Khansa Audrey a.k.a Yuu-chan
Cast : [Devi Kinal Putri & Jessica Veranda], Jessica Vania, Shania Junianatha, dll
Warning! : Typo(s), ejaan sesuka Yuu, alur kecepetan, jauh dari kata sempurna.
DILARANG!!
Mengcopas cerita ini tanpa nama author dan izin dari Yuu.
.
.
.
.
.
.
.

Prologue : Siswa Baru

Devi Kinal Putri turun dari sebuah mobil hitam. Ia menolehkan kepalanya ke kanan dan kekiri. Matanya memincing agar dapat melihat dengan jelas pada kegelapan malam.
“Psst! Aku disini!”
Merasa seruan itu untuknya, Kinal segera menoleh. Ia mendapati siluet seorang gadis di ambang gang senggol yang banyak terdapat pada kawasan itu.
Kinal menghampiri gadis itu.
“Ada apa Shania?” Tanya gadis itu pada seorang gadis lain di depannya.
“Kau datang. Syukurlah,” gadis berkacamata yang dipanggil Shania itu terkekeh pelan.
“Jika kau menyuruhku datang ke sini hanya untuk obrolan perempuan yang tidak penting aku akan pulang dan besok pagi akan membuangmu ke sumur,” Kinal mendelik galak.
“Tentu tidak, tenanglah Kinal. Aku hanya ingin menyampaikan kalau kita punya target lagi,” Shania menghentikan kekehannya lalu menatap Kinal serius.
“Heh, ternyata Melody benar-benar mengerti aku. Sudah lama rasanya tangan ini tidak merasakan dinginnya darah segar,” desis Kinal. Gadis bersurai pendek itu menyeringai.
“Kamu memang tidak pernah berubah Nal, sudah ya, aku punya banyak hal yang harus dikerjakan,” Shania ikut menyeringai kecil. Gadis itu pergi meninggalkan Kinal.
“Hanya seperti ini? Mengapa kau tidak mengirim pesan singkat atau menelpon saja ‘sih?” Tanya Kinal dengan nada tak suka.
Shania berhenti, lalu menolehkan kepala. “Aku ‘kan ingin bertemu denganmu. Kita kan sudah kenal lama, masa hanya bertemu saat ada pekerjaan sih?”
“Aku hanya benci dunia luar. Sudah, aku mau pulang,” jawab Kinal dingin.
***
Jessica Veranda terlihat tengah mematut dirinya di depan sebuah cermin. Ia merapikan seragam serta rambutnya.
“Perfect!” gumamnya sambil tersenyum. Ia mengambil tas ransel yang ditaruhnya di atas kasur. “Oke, Jessica Veranda sudah siap untuk sekolah baru!”
Veranda menuruni tangga untuk sarapan. Selesai sarapan, ia bangkit lalu berpamitan dengan ayah, ibu, serta adiknya.
“Ma, Pa, Van, Ve pamit ya!” Veranda memeluk kedua orangtuanya.
“Hati-hati ya sayang,” pesan mamanya sambil mengelus rambut gadis itu.
“Oke Ma!” Veranda mengedipkan sebelah matanya lalu berjalan menuju pintu. Dipakainya sepatu kets yang baru dibelikan papanya. Gadis itu memang tipe-tipe penyayang lingkungan. Walaupun keluarganya sangat berkecukupan tapi ia lebih memilih untuk naik kendaraan umum. Alasannya karena ingin mengurangi polusi udara.
Ia kini telah sampai di halte bus dekat rumahnya. Sambil celingukan, Veranda menyumpal sepasang telinganya dengan ear phone.
5 menit kemudian, sebuah bus berhenti di depan halte. Dengan riang gadis itu memasuki bus.
***
Kini, Veranda telah sampai di sekolah barunya. SMAN 48 Jakarta. Ia celingukan mencari guru yang bisa ditanyainya. Ia ingin menanyakan tentang dimana kelas barunya.
“Kamu murid baru ya?”
Veranda merasa ada yang menepuk bahunya. Bingo! Ia mendapati sosok perempuan dengan kemeja dan blazer. Pasti itu guru.
“I-iya …, kalau boleh tanya, kelas XI-II dimana ya?” tanya Veranda sambil menundukan kepalanya. Ia memang terlalu malu kalau harus bertatap muka dengan orang yang tidak atau baru dikenalnya.
Guru itu tersenyum, “jadi kamu ya anak baru itu? Sini, biar saya antar. Saya Iva Mufarida. Wali kelas kamu yang baru.”
“B-baik bu.”
***
Kriet ….
Pintu ruang kelas Kinal terbuka. Di ambangnya terlihat sang wali kelas beserta seorang gadis yang tidak dikenal oleh Kinal.
“Selamat pagi anak-anak …,” sapa sang guru dengan senyuman cerah.
“Selamat pagi Bu …!”
“Seperti yang Ibu katakan kemarin, kelas ini kedatangan murid baru. Ayo, perkenalkan dirimu,” guru itu menarik gadis tadi kedepan.
“H-halo teman-teman. Namaku Jessica Veranda Tanumihardja. Kalian bisa panggil aku Veranda,” gadis yang ternyata Veranda itu tersenyum malu.
“Nah, Veranda ini adalah murid pindahan dari SMAN 30 Bogor. Veranda, kamu boleh duduk di bangku yang kosong di belakang sana,” ibu guru itu menunjuk kursi di sebelah Kinal. Wajah gadis itu berubah masam seketika.
“Maaf Bu, apa dia tidak bisa duduk di kursi lain?” Kinal berdiri dari bangkunya lalu menyatakan protes.
“Tidak ada lagi bangku kosong, Kinal. Mohon pengertiannya,” kata ibu guru. Dialah Bu Iva.
Menghela napas pasrah, Kinal kembali duduk. Saat Veranda meletakkan tas di bangkunya, Kinal segera menatapnya tajam.

“Jangan dekat-dekat jika tak ingin mendapat masalah, bocah.”
TBC~

A/N : 
Yo, Minna-sama~ :D
Setelah hampir sebulan Yuu nggak ngepost, akhirnya Yuu datang lagi dengan fanfic jeketi. Berhubung cerita ini masih jauh dari kata sempurna--seperti yang ada di warning--jadi Yuu minta reviewnya ya :3 atau seenggaknya tinggalin jejak, biar Yuu tau siapa manusia kece yang mau menyisihkan waktunya buat baca fanfic ini. Btw ini fanfic VEnomeNAL yeay~!! Semoga nggak stuck, dan thanks buat yg udh bersedia baca ini dari awal sampe akhir, dan yg mau ninggalin jejak apalagi yang ngasih review <3 btw lagi, yg mau minta ijin copas bisa PM ke fb Khansa Audrey :)

Oke, aku kebanyakan ngomong lagi,
Jaa ne~! :3