Judul : Friend?
Genre(s) : Friendship, murder [sedikit], family [sedikit],drama.
Author : Khansa Audrey a.k.a Yuu-chan
Cast : [Devi Kinal Putri & Jessica Veranda], Jessica Vania, Shania Junianatha, dll
Warning! : Typo(s), ejaan sesuka Yuu, alur kecepetan, jauh dari kata sempurna.
DILARANG!!
Mengcopas cerita ini tanpa nama author dan izin dari Yuu.
.
.
.
.
.
.
Chapter 3 : Secuil Fakta
Kinal bangkit dari kursinya, berencana meninggalkan gadis
yang menurutnya menyebalkan itu.
“Heei, tunggu!” dengan cepat Veranda meraih pergelangan
tangan Kinal dan menahannya.
“Ck, mau apa lagi kau?” tanya Kinal—sedikit membentak.
“Aku bahkan belum tahu nama lengkapmu, Kinal,” kata Veranda.
Gadis itu memberi kode.
“Lantas?” Kinal mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi
kurang mengenakan. Kode yang diberikan Veranda gagal sudah.
“Oh, ayolah! Masa tidak mengerti? Beri tahu aku nama
lengkapmu!” seru Veranda, sedikir frustrasi pada gadis di depannya ini.
Kinal memutar bola matanya malas, lalu menghentak tangannya
hingga tangan Veranda yang bertaut dengan miliknya terlepas. “Bocah sepertimu
tidak perlu tahu!”
“Ayolah …, kita kan teman ya? Kau kan orang yang baik …,”
mohon Veranda dengan puppy eye andalannya.
Pikiran Kinal menolak untuk merespon, apalagi menjawab. Tapi
toh tangannya kini bergerak pelan mengambil buku paket yang segera disodorkan
pada Veranda. Padahal selama ini ia tak pernah memperlihatkannya pada siapa
saja—kecuali guru tentunya.
Veranda cepat-cepat mencondongkan kepalanya kedepan, membaca
3 buah kata yang tertera di halaman buku paket itu. “Devi Kinal Putri …. Nama
yang bagus! Boleh aku panggil kamu Devi?”
“Jangan seenaknya mengganti nama panggilan seseorang. Sudahlah,
aku mau pergi,” Kinal kembali membalikan badannya, berniat untuk pergi.
“Hei, tunggu dulu Kinal!” lagi-lagi Veranda menahan tangan
Kinal agar gadis itu tidak pergi meninggalkan dirinya. “Ceritakan, apa
masalahmu?”
“Kenapa kau sebegitu mau tahunya tentangku? Aku tidak
bermasalah tahu! Aku hanya orang yang buruk, jadi sebaiknya kau jangan
dekat-dekat padaku!” bentak Kinal tertahan. Ia tahu di situasi seperti ini ia
tak boleh melakukan hal semacam itu yang bisa menarik perhatian orang banyak.
“Karena kau itu menarik. Kau terlihat begitu misterius dan
keren. Aku menyukaimu!” jawab Veranda riang.
“Aku masih normal bodoh,” tukas Kinal dengan wajah datar.
“Bukan itu maksudku! Aku juga masih normal tahu! Lagipula
kan aku bilang menyukai, bukannya mencintai!” balas Veranda. Tak terima
dibilang tidak normal—walaupun secara tidak langsung—gadis itu mulai
menampakkan wajah kesalnya.
“Terserah! Jangan ganggu aku lagi, Jessica Veranda!”
***
Jessica Veranda menghempaskan diri pada sofa di ruang tengah
rumahnya. Veranda menghela napas pelan lalu mengambil mug berisi coklat panas
lalu mengaduknya sekilas.
Setelah menyesap minuman penghangat badan favoritnya, tangan
Veranda terulur demi mengambil remot televisi lalu menyalakannya.
Rumah yang tadinya hanya terdengar bunyi jam dinding itu
kini menjadi cukup ramai akibat suara dari pembawa berita.
“Pemirsa, telah meninggal pada tanggal 12 Mei yang lalu,
putri semata wayang dari bapak Winarto, Stella Cornelia Winarto. Diduga
penyebab kematian Stella adalah pembunuhan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab. Sampai saat ini, polisi belum juga dapat mengungkap siapa
pelaku pembunuhan dari Stella. Semoga anggota keluarga dan orang-orang terdekat
yang ditinggalkan bisa menerima kepergian beliau dengan lapang dada. Berikut
ini adalah wawancara kami pada bapak Winarto selaku orangtua Stella Cornelia
dan CEO dari Winarto Company.”
Veranda tidak bergeming. Ia berusaha mencerna semua
kata-kata sang pembawa berita tadi. Intinya adalah satu; Stella Cornelia,
sahabatnya yang sangat disayanginya, pergi meninggalkannya. Untuk
selama-lamanya.
Veranda merasa sangat terpukul. Matanya menatap kosong
dengan pelupuk mata yang mulai tergenang air. “Stella …, meninggal?”
Veranda meneguk ludah, dirinya tak bisa menerima kenyataan
bahwa sohib karibnya itu telah pergi untuk selama-lamanya.
Ting!
Suara itu membuat Veranda tersadar. Mengetahui bahwa suara
itu berasal dari ponselnya, gadis itu meraih benda yang sangat penting bagi kebanyakan
orang itu.
“Ve, kamu dateng ke rumah ya …. Jenazah Stella mau
dikuburkan 2 jam lagi. Kamu tahu kan, Stella sudah meninggal Ve …,” Veranda
membaca BBM dari mama Stella. Matanya lagi-lagi menerawang kosong lurus ke
depan.
“Stella sudah meninggal,” gumamnya. “Dia meninggalkanku. Dia
benar-benar sudah pergi ….”
Setelah bergumam, Veranda melangkahkan kaki ke kamarnya,
berganti baju, lalu tancap gas ke arah rumah Stella.
***
Keesokan harinya, Kinal tidak begitu banyak mendapat
gangguan dari Jessica Veranda. Aneh juga, tapi Kinal memutuskan untuk tidak
ambil pusing dalam hal itu. Kini, gadis
yang tengah duduk di bangku kelas 12 itu sedang bersiap untuk pulang.
Kelasnya sudah sepi, karena anak-anak sudah pulang beberapa
menit yang lalu. Kinal mendapat tugas piket hari ini dan sialnya, hanya ia
satu-satunya anggota piket hari ini yang masuk. Jadi, seperti yang kalian
perkirakan, Kinal mengerjakan piket kelas sendirian.
Kriet ….
Tiba-tiba pintu kelas terbuka. Di ambangnya terlihat gadis
bersurai hitam panjang dengan mata sembab khas orang habis menangis.
“Kau belum pulang, bocah?” tanya Kinal tanpa memandang
Veranda. Kinal tahu itu dia, karena tas biru milik Veranda masih tertaruh rapi
di atas bangkunya.
“Seperti yang kau lihat, Nal,” jawab Veranda acuh, tak
biasanya ia bersikap acuh seperti itu terhadap Kinal, seorang yang dianggap
Veranda teman. “Apa kau masih piket?”
“Tidak. Aku akan pulang sekarang,” jawab Kinal, ia
menyampirkan tas ranselnya pada satu bahunya. “Apa kau ada urusan denganku?”
tanya Kinal, sambil menatap Veranda.
“Heh, kau menangis? Benar-benar seperti bocah,” lanjutnya
lagi, dengan nada mengejek yang kentara sekali. Kinal memalingkan wajah, tak
tertarik menatap mata sembab Veranda.
“Ya. Aku ada urusan denganmu, Nal. Temani aku ke café. Sekarang.”
Veranda menarik tangan Kinal selepas berbicara dengan nada datar yang terdengar
aneh bila keluar dari mulut seorang Jessica Veranda.
“Hei, hei! Apa-apaan ini?! Kau menculikku ya?!” tanya Kinal
sambil meronta-ronta. Tapi siapa sangka, tenaga Veranda lebih kuat dari yang
dibayangkannya.
Kini, mereka sudah sampai di café dekat SMAN 48 Jakarta.
“Mbak, pesan cappuchino 2,” pesan Veranda pada pelayan yang
siambut dengan anggukan si pelayan perempuan.
“Jangan seenaknya memutuskan aku mau pesan apa,” tukas
Kinal. Agak ketus terdengarnya.
“Sobat karibku meninggal,” kata Veranda, tak mempedulikan
perkataan Kinal.
“And so? Apa hubungannya denganku?” tanya Kinal, menaikkan
sebelah alisnya.
“Kau temanku. Tentu ada hubungannya!” seru Veranda, agak
kesal dengan sikap Kinal yang sebegitu cueknya.
“Jadi …, temanmu itu siapa?” tanya Kinal sambil menopang
dagunya.
“Stella. Stella Cornelia Winarto,” jawab Veranda dengan
wajah muram.
“S-Stella Cornelia?” tanya Kinal tak percaya. Ia
membelalakkan matanya dan menatap lekat Veranda. ‘Ini akan menjadi sulit.
Mengapa targetku itu merupakan sahabat si Bocah ini?’ batin Kinal, agak panik.
“K-kamu kenal Stella?” tanya Veranda penuh perhatian.
“E-enggak kok. Kalau begitu aku turut berduka ya,” elak
Kinal. Gadis itu memalingkan wajahnya, menghindari kontak mata dengan Veranda
yang menatapnya tak yakin.
“Kamu tidak berbohong kan, Nal?” Ve menaikan sebelah alisnya
sambil memandang Kinal lekat-lekat.
“T-tentu saja! Lagipula untuk apa aku berbohong?” tanya
Kinal dengan nada tinggi. Wajahnya dan cara bicaranya masih terlihat dan
terdengar tidak meyakinkan bagi Veranda.
“Kau terlihat panik begitu Nal. Kau pikir kamu bisa
membohongiku, ya?” tanya Veranda dengan nada menantang. Senyum miring
disunggingkannya khusus untuk Kinal.
Kinal hendak berkelit lagi, namun pelayan café datang dengan
nampan berisi dua cangkir cappuchino hangat yang terlihat enak.
“Silahkan ….” Pelayan itu menunduk sedikit lalu pergi
bersamaan dengan Veranda yang mengatakan terima kasih.
Veranda menyesap cappuchino-nya perlahan, lalu mulai bicara
lagi. “Ceritakan padaku, Nal. Aku tahu kau sedang menyembunyikan sesuatu.
Jelaskan semuanya, ya? Kita kan teman.”
Gadis itu menatap Kinal dengan tatapan teduh yang seharusnya
menyejukkan hati. Tapi nyatanya Kinal kini malah semakin bimbang. Apa ia harus
menyerah saja? Atau tetap mempertahankan kemisteriusan identitasnya itu?
“Hei, kenapa kamu diam saja Nal?” tanya Veranda. Sepertinya
ia telah lupa sesaat tentang kematian sang sohib karibnya. Dan itu memang
kenyataannya. Veranda kini lebih tertarik mengorek informasi dari sosok gadis
misterius yang menarik di depannya ini.
“Hhhh …,” Kinal menghela napas frustrasi. Kini dirinya
merasa tidak bisa—atau mungkin tidak mau—berkelit lagi. “Kau bukan tipe
perempuan penggosip atau tidak bisa menjaga rahasia kan, Jessica?” tanya Kinal.
“Hei, jangan panggil aku seperti itu. Jessica rasanya
terlalu mainstream, bahkan adikku menggunakan nama itu dan oh, itu tidak
penting. Dan soal pertanyaan mu jawabannya ya. Bahkan aku tidak punya teman
untuk bergosip,” jawab Veranda. Ia memandang Kinal penuh perhatian.
“Ya-ya. Terserah. Baguslah kalau begitu,” Kinal menarik
napas lalu menghelanya perlahan. “Kau tahu Jakarta 48?” Kinal memelankan
suaranya, takut ada yang mencuri dengar.
“Apa itu? Apakah itu semacam toko aksesoris? Atau mungkin …,
bandar narkoba!” tebak Veranda dengan nada sedikit tinggi.
“Pelankan suaramu bodoh! Lagipula itu bukan bandar narkoba
apalagi toko aksesoris!” desis Kinal.
“Lalu apa? Apa semacam band café? Tapi gadis misterius
sepertimu tak mungkin ikut band café,” gumam Veranda sambil berpikir keras.
“Ternyata kau benar-benar anak baik-baik. Jakarta 48 itu organisasi.
Yang berisi para pembunuh bayaran,” kata Kinal, sangat pelan, hampir berbisik.
Untungnya gadis itu mencondongkan kepalanya sehingga Veranda dapat mendengar
bisikannya itu.
“Lalu?” wajah Veranda tampak sangat polos sewaktu
mencetuskan pertanyaan itu.
“Jakarta 48 memiliki anggota bernama Devi Kinal Putri, yang
beberapa hari yang lalu mendapatkan misi untuk menghabisi Stella Cornelia
bersama rekannya,” tandas Kinal, ia bangkit, lalu meninggalkan café itu dengan
sejumlah uang.
Tetapi tiba-tiba Kinal terhenti. “Dan selamat, kau
mengetahui sepersen dari diriku.”
TBC~
A/N :
Yo! Apakabar Minna? :3
Yuu dateng lagi! Siapa yang kangen? Huft, blog ini udah lama banget Yuu tinggalin. Maaf ya? Rasanya blog ini udah berdebu, dan banyak sarang laba-labanya. -3-
Yuu dateng lagi! Siapa yang kangen? Huft, blog ini udah lama banget Yuu tinggalin. Maaf ya? Rasanya blog ini udah berdebu, dan banyak sarang laba-labanya. -3-
Sekali lagi Yuu minta maaf yaa? m(__)m
So? Gimana? Ada peningkatan kah fic ini? Atau justru menurun? Tolong bantu Yuu ya, supaya fic ini makin kece lagi, kayak authornya! :3 Caranya gimana? Gampang! Tinggalketik reg spasi yuu kasih review aja kok! Mohon bantuannya ya :D kalau enggak ada review, minimal jejak. Biar Yuu tau kalau kalian baca cerita ini! BIG THANKS untuk yang udah mau luangin waktunya buat baca!
Oke, Yuu mau makan siang, dulu,
So? Gimana? Ada peningkatan kah fic ini? Atau justru menurun? Tolong bantu Yuu ya, supaya fic ini makin kece lagi, kayak authornya! :3 Caranya gimana? Gampang! Tinggal
Oke, Yuu mau makan siang, dulu,
Jaa ne! :* :D

Tidak ada komentar:
Posting Komentar